A.
PERINTAH
JIHAD
a.
Ayat
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu:
"Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat
dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia
sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini
(dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.”
b.
Asbabun Nuzul
Ayat ke-38 diturunkan sesudah terbukanya
kota Mekkah,
ketika kaum Muslimin mendapat perintah mengadakan perperangan Tabuk. Ketika
musim panas. Sedang buah-buahan sudah hampir masak, sehingga merangsang mereka
untuk berteduh sambil duduk-duduk dibawah pohon sambil menikmati buah-buahan.
Karena itu, mereka enggan mengikuti perang menyerang kota Tabuk. Sehubungan
dengan itu, maka Allah SWT menurunkan ayat ke-41. Secara tegas Allah SWT
memerintahkan kepada mereka agar segera melaksanakan perintah sekalipun dengan
perasaan ringan maupun berat. Karena itu merupakan kewajiban yang tidak dapat
ditawar lagi.
Ayat ke 38-40 diturunkan sebagai peringatan
bagi mereka yang lebih senang duduk-duduk enggan berjihad. Kenikmatan yang
mereka peroleh masih sangat kecil manakala dibandingkan dengan kehidupan
akhirat nanti. (HR. Ibnu Jarir dari
Mujahid )[1].
c.
Tafsir
Dari mulai ayat 38 ini, sampai
akir surat, adalah pembicaraan disekitar perang Tabuk. Tiga pihak musuh yang dihadapi Islam: pertama kaum musrikin
yang berpusat di mekkah. Maka dengan menaklukan mekkah dan kemenangan di
Hunaian, perlawanan besar-besaran dari pihak musrikin boleh dikatakan sudah
berhenti.
Pihak kedua ialah Yahudi.
Dengan pengusiran bani Nadhir, dan penumpasan habis-habisan atas bani Quraizhah
dan penaklukan benteng mereka di khaibar, perlawanan yahudi pun tidak ada lagi.
Tetapi Rasulullah masih wajib menghadapi pihakn yang ketiga, yaitu bangsa rum
yang menguasai tanah arab sebelah Utara (Syam) yang diikuti oleh bangsa Arab
sendiri yang telah memeluk agama Nasarani, yaitu agama yang dipeluk penjajah
mereka. Orang Rum dan orang arab sendiri yang telah memeluk agama orang rum
itu, yaitu agama Nasarani, dipandang sebagai ahli kitab, pada mulanya
Rasulullah s.a.w. ingin membentuk pertetanggaan yang baik dengan pihak kerajaan
yang besar itu. Beliau pernah mengirim surat dan utusan supaya mereka memeluk
Islam.
Kekuasan bangsa rum tidaklah
senang atas timbulnya kekuatan baru ditanah Arab ini. Suatu agama yang
mengajarkan bahwa Allah hanya satu, tidak beranak dan diperanakan. Suatu agama
yang mangajarkan bahwa dosa Adama tidak diwariskan kepada anak cucunya, dan tidaklah
Al masih dikirim Allah ke dunia untuk menebus dosa manusia. Suatu agama yang
menolak segala ajaran yang memandang manusia sebagai Tuhan dan anak Tuhan.
Oleh sebab itu sejak tahun
keempat dari hijrah Nabi s.a.w ke Madinah, menyuruh penduduk Madinah selalu
was-was dan memperbanyak ronda. Kemungkinan Madinah akan dihancurkan sudah menjadi pendapat umum, di Madinah pada
waktu itu.
Maka sehabis penaklukan Makkah
dan enam bulan setelah penduduk Thaif mengaku tunduk memeluk Islam, sampailah
berita yang dibawa oleh ssaudagar-saudagar yang pulang balik antara madinah dan
Syam bahwa tentara Rum telah mengerahkan suatu tentara yang besar akan
menyerang Madinah. Kabilah-kabilah Lakham dan Juzam dan kabilah-kabilah arab
yang telah memeluk agama Nasarani menggabung pula kedalam tentara beasar itu.
Mereka berkumpul di negeri Sulaqa’. Demikianlah berita yang diterima menurut
riwayat Ibnu Sa’ad.
Setelah mendengar berita-berita
yang demikian dan disesuaikan kebenarannya dengan berita yang lain, maka
Rasulullah s.a.w memandang bahwa sebelum tentara musuh itu sampai menunjuka
tujuannya kemadinah, hendaklah didahului.
Tetapi peperangan yang akan
dihadapi ini dirasai sendiri memang suatu peperangan besar. Sedang kala itu
keadaan amat sukar. Yaitu pada bulan Rajab tahun kesembilan, bertepatan dengan
pertengahan musim panas. Dan pertengahn musim panas itu pula musim pemetikan
terakhir dari kebun-kebun kurma. Sedang peperangan ini diundurkan atau bertahan saja di madinah,
tidak diserbu sebelum musuh itu dating, bahaya beasar lah ayang akan di hadapi. Oleh sebab itu Rasulullah SAW yang
sekali ini keluar dari kebiasaanya. Kebiasaan
kalau pergi perang tidak banyak cakap dan kemana tujuan disembunyikan
saja. Mujahidin hanya disuruh taat dan ikut. Tapi kali ini Rasulullah SAW menyerukan
berperang dengan terang-terang. Apalagi perjalanan kali ini akan jauh, yaitubke Tabuk. Jarak anatar Tabuk
dengan Madinah, ialah 14 marhalah ata8 14 perhentian. Dan jarak antara Tabuk dengan Syam 11 perhentian. Dalam
hitungan kilometer zaman sekarang jarak madinah dengan tabuk adalah 692 Km dan
jarak Tabukdengan Syam ialah 610 AKm. Jarak Madinah dengan Damaskus adalah 1302
Km. lantaran itu maka Tabuk adalah di tengah-tengah anatar madinah dengan
Damaskus.
Pada masa sulit itu para
sahabat berlomba untuk mengatasi kesukaran yang akan dihadapi oleh orang Islam
dalam perperang nanti. Melihat yang demikian
terharu Rasulullah SAW. Disamping itu ada pula golongan yang lemah hati,
mengemukakan dalih. Yang banyak
istirahat bersenang diri, meresa berat diajak. Maka datanglah ayat-ayat
ini, mengahardik orang-orang yang lemah iman itu. Membuka hati orang munafik.
Ayat-ayat yang begitu tajam mengkritik bahwa simunafiklah yang menyebabkan
bahwa surat ini bernama juga surat Al-fadhihah yang artinya membuka rahasia
yang memberi malu kepada orang munafik.
“wahai
orang-orang yang beriman”
(pangkal ayat 38). Pangilan mulia kepada orang yang telah percaya kepada Tuhan,
apabila mereka disuruh mengerjakan atau memikul beban yang berat dan
melaksanakan suatu kewajiban: “Gerangan apakah sebabnya jika dikatakan kepada
kamu: berperanglah pada jalan Allah, kamu beratkan badan kamu kebumi ?”. Panggilan
perang, seruan memangul senjata menghadapi musuh, pengerahan menyusun barisan
di Nafir. Dari sanalah diambil kalimat Nafiri buat nama dari terompet penyeru
perang. Msekarang nafiri atau seruab itu telah sampai dari Rasul, mengapa kamu
merasa keberatan, berat kamu mengangkat dirimu dari tempat dudukmu? Tidak
segera tegak dan siap? Seakan-akan pinggulmu melekat pada bumi?.
Disini
dipanggil tuahnya, yaitu seluruh orang yang beriman. Meskipun tidak semua
merasa berat diri buat bengkit, namun dengan panggilan kepada orang-orang yang
beriman itu, dengan sendirinya hilangah rasa keberatan, kalau masih ada dalam
hati yang teguh iman, karena waktu itu memang sangat susah, musim panas, kurang
belanja, musim memetik buah dan sebagainya. Tetapi orang yang lemah iman dan
munafik niscaya dsangat terkena denga kritik yang tajam ini. Sebab nama
panggilan iman telah diseur oleh Tuhan, tidak mungkin orang beriman terpengaruh
oleh segala keberatan itu; “ Apakah
kamu lebih suka hidup didunia daripada diakhirat?”. Apakah
yang menyebabkan kamu keberatan pergi? Adakah karena merasa enak duduk dirumah,
atau karena keberatan pergi? Adakah karena merasa enak duduk dirumah, atau
karena berat meninggalkan hasil kebun
yang tengah di petik? Padahal semuanya itu adalah dunia belaka? Sedang
berjalan jihad menegakan agama Allah adalah karena menuju bahagia hidup di
akhirat? : “maka
tidaklah ada bekal hidup didunia itu, terhadap akhirat, melainkan sedikit.”.
Segala yang menyebabkan kamu berat pergi itu
hanyalah bekal didunia belaka. Rumah yang akan kamu tinggakan, kebun yang akan
dipetik isinya, keenakan duduk dirumah bercengkrama dengan anak istri, semuanya
itu hanyalah bekal hidup sementara, yang tidak ada artinya jika dibandingkan
dengan nikmat Allah yang akan kamu terima diakhirat, karena taat dan patuh
menjalankan perintah Allah.[2]
B. Anjuran berteman dengan orang yang benar
a. Ayat
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah
kamu bersama orang-orang yang benar.”
b.
Asbabun Nuzul
Ka’ab bin Malik belum pernah sekalipun absen dalam
mengikuti jihad bersama Rasulullah SAW. Sebelum tabuk. Yakni perak yang
terakhir dimasa kehidupan Rasulullah SAW, Ka’ab bin Malik hanya sekali absen dalam berperang
Badar. Pada waktu perang Tabuk, Rasulullah mengizinkan kepada siapa saja yang
ingin mengikuti Jihad.
Ayat 117-119 diturunkan berkenaan dengan ka’ab bin Malik yang tidak mengikuti jihad pada
perang Tabuk. Ia diboikot oleh orang mukminin lantaran tidak hadir tersebut. Ayat-ayat
ini diturut kan untuk memberikan ketegasan bahwa Ka’ab bin malik telah mendapat ampunan dari Allah
SWT, sehingga kaum mukminin tidak lagi memboikotnya.
c.
Tafsir
Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, bertaqwalah kamu kepada Allah , dan takutlah kamu kepada Allah, dan
takutlah kepada-Nya, dengan menunaikan kewajiban-kewajiban yang difardhukan,
dan meninggalkan segala larangan-larangan-Nya. Dan jadilah kamu didunia
tergolong orang-orang yang setia dan taat kepada-Nya niscaya di akhirat kamu
tergolong orang-orang yang benar-benar masuk sorga. Dan janganlah kamu
bergabung dengan orang orang munafik yang bercuci tangan dari dosa-dosa mereka
dengan pengakuan dosa-dosa mereka, lalu memperkuatya dengan sumpah. [4]
Tidak ada rukhsah untuk berbohong kecuali tiga hal.
Al-Hakim telah mengeluarkan suatu riwayat
dari Ibnu mas’ud dari Nabi saw, bahwa beliau telah bersabda:
Artinya :”sesungguhnya, dusta itu tidak patut
dilakukan, baik baik kesungguhan maupun main-main. Dan jangan seorang laki-laki
berjanji kepada anaknya kemudian tidak menunaikannya. Bacalah kalau kamu mau,
wahai orang-orang yang beriman; takwalah kamu kepada Allah dan bergabunglah
kamu bersama-sama orang-orang yang benar”
Memang tidak ada rukhsah untuk berkata bohong, kecuali
karena darurat, misalnya dalam melakukan tipu daya ketika berperang atau
mendamaikan dua orang yang bersangketa, seorang suami yang berkata bohong
kepada istrinya untuk menyenangkan hatinya, maksudnya supaya hatinya senang
dengan menyebutkan kebaikan-kebaikannya, atau suami menyatakan rida kepadanya.
Jadi, bukan berbohong mengenai urusan rumah tangga, keluarga atau lainnya.
C. Kesimpulan
Dalam ayat 38 surat at-Taubah diatas adalah ayat yang
memerintahkan kepada orang yang lemah imannya untuk berperang dan membuka
rahasia orang munafik.
Sedang dalam ayat 119 surat at-Taubah ini adalah ayat
yang manganjurkan kepada kita agar selalu bekata, berbuat dan berteman dengan
orang yang benar dalam kehidupan ini.
[1] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul
Studi Pendalaman Al-Quran, PT. Grafindo persada, Jakarta: 2002, hal. 458
[2] Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azar, PT Pustaka Pansimas, Jakarta: 1995,
Juzu’ 10 hal. 212-213
[3] Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azar, PT Pustaka Pansimas, Jakarta: 1995,
Juzu’ 10 hal. 499
[4] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, PT Karya Toha Putra,
Semarang : 1993, hal.76-78